NOVEL TANPA HURUF "R"




SINOPSIS :

”Novel Tanpa Huruf R”
Satu Lagi Karya Personal Aria Kusumadewa


Salah satu adegan dalam film terbaru Aria Kusumadewa berjudul Novel Tanpa Huruf R. Film ini sudah diputar di kampus-kampus dan beberapa kantong budaya di Pulau Jawa dan Sumatera.


Terinspirasi dari kondisi masyarakat saat ini, sutradara Aria Kusumadewa menuangkan pandangannya dalam film terbarunya, Novel Tanpa Huruf R. Dalam filmnya, Aria ingin mengusik ingatan penonton tentang pelbagai peristiwa yang menjadi sejarah hitam negeri ini yang akhirnya menorehkan luka mendalam pada seorang anak manusia.

Dikisahkan sebuah keluarga yang terpaksa melarikan diri dari kampungnya akibat difitnah sebagai pengikut sebuah organisasi terlarang. Sayang, di tengah perjalanan sang ibu terjun ke laut dan hilang. Tinggallah Badar (Otig Pakis) bersama putra tunggal mereka, Drum.
Di kampung baru, Badar berhasil merintis usaha penjagalan hewan dan hidup bahagia bersama Drum dan saudara angkatnya yang bisu, Talang (Faisal Kamarullah). Namun, tepat di hari ulang tahun ke-17 Drum (Agastya), Badar tewas tertabrak mobil. Drum kemudian tumbuh menjadi seorang wartawan kriminal di Jakarta.
Berbagai peristiwa menyedihkan berganti-ganti menghantam Drum. Mulai dari pacarnya Fa (Fahrani) yang ternyata lesbian, ditambah keseharian Drum menyaksikan berbagai pembunuhan brutal membuat dirinya gamang. Puncaknya, saat kekasih barunya, Angel (Angela Anggraini) yang keturunan Tionghoa, tewas mengenaskan dalam sebuah huru-hara di Vihara Buddha. Arti kehilangan Drum menjadi lengkap. Drum menggugat hidup dan keberadaan Tuhannya. Ia kemudian menyendiri ke sebuah rumah di tepi pantai. Drum meninggalkan pekerjaan lamanya dan beralih menjadi penulis novel kisah-kisah kriminal, Kejet-kejet.
Tak disangka Kejet-kejet laku di pasaran dan menarik minat Air Sunyi (Lola Amaria), seorang mahasiswi sastra yang berminat menulis Kejet-kejet sebagai bahan penulisan skripsinya. Gadis ini mengkritik Drum karena tulisannya tentang kekerasan dinilai terlalu vulgar dan meracuni moral masyarakat.
Bukannya marah, Drum malah mengundang Air ke rumahnya. Tanpa disadari, kehadiran Air kembali mengguncang trauma kehilangan dalam dirinya yang labil. Ujungnya, Drum menyandera Air untuk mengisi ruang pencarian jiwanya. Dalam penyanderaan ini, Air berontak dan berhasil menggigit salah satu jari telunjuk Drum sehingga ia tak bisa mengetik huruf r.

Trauma
Novel Tanpa Huruf R menampakkan upaya Aria untuk merekam perjalanan sejarah mulai dari pascaperistiwa G30 S tahun 1965 kala orang-orang yang dianggap eks-PKI dikejar-kejar hendak dibunuh, berlanjut sampai kerusuhan 1998 saat Soeharto lengser hingga saat ini.
Menyaksikan film kedua Aria hasil kerja sama dengan Tit’s Film Productions, penonton harus pandai-pandai mengira-ngira cara berpikir Aria ataupun peristiwa yang melatarbelakangi adegan tertentu karena sutradara jebolan IKJ ini tidak selalu memberikan latar belakang per adegannya secara detail. Ketika terjadi pembunuhan massal di vihara, misalnya, Aria tidak menghadirkan suasana kerusuhan sehingga adegan yang harusnya emosional itu jadi terkesan datar saja. Demikian pula tentang novel Kejet-kejet yang katanya vulgar itu, sampai akhir cerita penonton tidak pernah diberi gambaran utuh mengenai isi novel itu.
Ada beberapa hal yang terasa janggal. Misalnya saat keluarga Badar yang dianggap anggota partai terlarang itu, istri Badar malah menggunakan jilbab, sesuatu yang tidak lazim dikenakan pada masa itu.
Keinginan Arya yang ingin menyampaikan pesan kekerasan, ketimpangan, degradasi moral ataupun pluralisme, sesungguhnya patut dipuji. Tapi karena terlalu banyak ide yang hendak disampaikan, cerita menjadi kurang fokus sehingga beberapa adegan terasa hanya tempelan. Misalnya gambaran kesewenang-wenangan pemerintah yang ingin menyita tanah milik Badar tanpa alasan yang jelas, jadi terkesan terlalu klise.
Film ini juga berpotensi menuai protes, dilihat dari keberanian Aria mengangkat hal-hal sensitif seperti cara-cara bersembahyang agama Katolik yang tidak lazim, ataupun adegan-adegan telanjang Drum ataupun Fa dengan teman lesbinya, termasuk adegan-adegan pemotongan sapi di rumah penjagalan, yang mungkin ditujukan untuk memperkuat kesan kekerasan, bagi sebagian orang akan terasa vulgar.
Penonton sah-sah saja memberikan penilaian tentang film yang menghadirkan bintang tamu seperti Ine Febriyanti, Irma Hutabarat (yang juga menjadi salah satu penyandang dana film ini) serta Slank yang menyumbangkan lagunya Bulan Bintang sebagai soundtrack film ini. Seperti dikatakan penulis skenarionya, Be Raisuli, film ini tidak memaksakan orang untuk memberi penilaian tertentu karena Aria hanya mengungkapkan sudut pandangnya tentang nilai kehidupan masyarakat saat ini secara personal.

”Roadshow”
Sama seperti Beth dulu, Novel Tanpa Huruf R ini juga akan diputar keliling di berbagai kantong budaya, kampus, gedung-gedung bioskop independen ataupun tempat-tempat pertemuan yang tersebar di pulau Jawa dan Sumatera. ”Kami memilih roadshow karena dari awal kami tidak berpikir untuk memutar film ini di bioskop umum,” sahut Lola Amaria yang selain sebagai pemeran utama juga bertindak sebagai produser. ”Belajar dari film Beth, film Aria ternyata dekat dengan mahasiswa dan kita ingin me-manage itu. Ini bukan rekayasa atau ingin melawan siapa-siapa tapi hanya memperkenalkan distribusi alternatif bahwa film apa pun bisa diputar tanpa harus di bioskop,” imbuh Lola seraya mengatakan selain pemutaran film, setiap roadshow juga dilengkapi dengan diskusi.
Lola pantas saja optimis dengan cara roadshow semacam ini karena film pertama Aria, Beth tahun 2001 dulu, mampu menjaring 117.000 penonton yang tersebar di 10 kota dan 24 perguruan tinggi di Pulau Jawa dan Sumatera. ”Membuat film bukan hanya untuk mengejar keuntungan materi, tapi ini lebih merupakan investasi dalam berkarya,” tandas Lola yang sempat jungkir balik mengumpulkan dana dan menghabiskan waktu 10 bulan untuk merampungkan film ini.



SINOPSIS :



695.49 Mb